Umur Kampung dengan Geleri Gelirya
Pangkalant Palmdalale Jahanang Loncek |
Loncek adalah kata yang sangat
mudah diucapkan tapi jarang digemakan. Kini adalah musim bunga durian mekar, bisa
dihitung 6 bulan kemudian akan panen durian Parene’k-an. Dirumah Pak Eti’ atau sebut saja Bapaknya Edi
kawan sakarayungan (sahabat karib), masa ini pula sedang tak berduit, tapi
hobby jalan kekampung-kampung.
Apalagi anehnya kita tak punya
pekerjaan. Makanya saya sering mensugesti otak dan pola pikir dengan kata
“GILA” yang dalam komunitas KTM PPB (kelompok tani muda palambon pucuk baguas)
diadaptasikan dengan defenisi apa yang selalu akrab dengan ide-ide nakal,
menghentakan pikiran siapapun yang mendengarnya.
Uniknya lagi ide-ide itu
sederhana, biasa dibicarakan kalangan tua atau setidaknya orang-orang kampong
yang sudah berumur atau sedang menikah, juga pembicaraan itu diulang-ulang
setiap malam nonton sinetron, setiap pagi diteras-teras pelataran, dibawah
pohon cempedak; tempat paforit bagian Bansal melafalkan angka mulai dari jumlah
1, 2, 3, dan 4 sekiranya disela mesin genset (generator set-up atau Diesel
jenis TS, Dompeng 13 dan kulita/pelita) bersahutan dari ujung kumangk’ ai’ ,
Bansal, Kalampe, Paser, Lola hingga katiak Sambas, Jahanang serta Sawit
palmdale seirama dengan Bensol dan piringan somile menghadirkan rupiah demi
rupiah.
Namun ketika tengah malam, irama
itu satu-persatu hilang dari redupnya pandangan, hanya sekali-sekala cahaya itu
meramaikan kampong berpenduduk 256 KK, dalam 1 dusun, desa perbatasan
trans-kota Pontianak berjarak 75 KM kearah timur.
Anak-anak “gila” hidup pagi dan
bangun dalam pekatnya malam. Siklus itu menanti hingga siapapun yang hidup menetap. Palingan biasa ngoceh atau kalau
sudah bosan beli solar atau cukup dengan minyak tanah saja untuk melempiaskan
hidup dalam remang-remang utuhnya Nubuat Tuhan yang menciptakan siang-dan-
malam bahwa baik adanya dalam kitab kejadian nasrani.
Mereka senag menikmati ritme
hidup begini. Bertani tapi perlu memagari seluas bukaan lahanya, jelas sudah
jika tidak kosekuwensinya Babi panen duluan, bahkan panen dini. Tapi bukan
gagal paen hanya ada kekeliruan teknis disversifikasi varietas dan musim tanam
saja. Karna bias saja mereka yang “GILA” mengambil wilayah si-Babi yang
notabene peliharaan seketurunan atau Si-Babi yang tak punya malu merebut hasil
panen Tuanya.
Entah bagaimana ini bias
berlangsung hingga kini, tapi yang jelas mereka adalah orang Gila!
Karena Gila mereka bias menikmati
keadaan ini.
Mengapa…?
Mungkin kita perlu melihat secara
historis dan secara antropologis; segala mahkluk bias harmonis bermukim di
Loncek beregenerasi, semenjak kisah para Pantak’ merintis situs nasib siapapun
manusia yang pernah dan kemana menjejakan bekas telapak kakinya di-7 gunung dan
ribuan Hektar lembah gambut yang kini penguasaan kelola buan milik orang-orang
GILA lagi, karena Orang-orang Gila sudah generasi kesekian hidup berikutnya.
Hingga kini mereka juga bingung identitas aslinya apakah sempat mendiami rumah
panjang (rumah bantang) atau malah mendengar sayup-sayup dongen kehebatan
nenekmoyangnya menggoreskan sebongkah tempat 13, 64 dan bagian kaplingan plasma
dan inti di jahanang secara acak sehingga mengacak asal dan usul darimana para
Orang Gila ini berasal.
Kemudian, seisi kaplingan dan
sisanya sudah dinikmati setiap tahun demi tahun berikutnya. Entah sampai kapan
bias sebebas itu?
Bebas bermitra dengan perusahaan
perkebunan sawit skala luas yang memerlukan kerani/karyawan. Buruh lepas yang
sangat takut HK/hari kerjanya dipotong gara-gara tidak bias masuk subuh dan
target kerja pemupukan, penyiraman, pembersihan piringan setiap batangnya sama
hal merawat bayi. Ini kata-kata dari We’ Lia atau biasa dipanggil Dak Solas
seorang tokoh perempuan sedang bergelut mengetuai WK/wanita Katolik sekaligus
ketua organisasi ibu-ibu petani (KTBA/ kelompok tani burung arue) yang hingga
saat ini sangat jeli, cermat dan energik menyuarakan nasib sekawanan buruh
harian lepas dengan alas an kata “Bapak mau kualitas kah atau cepat selesai
targetnya?”
Seolah menguatkan posisi orang
kampong (para orang tua mereka yang Gila) bahwa teryata mereka juga tak pernah
ditatar bagaimana cara mengerjakan apa yang diminta perusahaan lewat perintah
mandor dan IC nya.
Persis menghantui ingatan subuh
mereka, bahwa besok kita harus menyelesaikan borongan target kerja jalur, demi
jalur supaya setiap minggunya bisa dapatkan rupiah supaya dapur berasap, lusa
para anaknya bisa baca dan tulis di sekolah nya Soekarno hingga kelak tidak
harus menebang cerucuk, lokbut, memutar bunga,
udang, kepiting, tempayan dan memilah hurf cina atau selalu bersenang-senang di
panggung jonggan sembari joget oplosan, iwa peyek, jika bosan berteduh dibawah
tenda lapak biru disana tersedia variasi kampelan, kacang kulit, IDT (indomi
dan telur) serta segenap jenos penyedap rasa produk luar kampong menyemangati
bulan-bulang pesta pengantin dan pesta sunatan.
Hitungan itu adalah, GAJI.
Kedengaranya keren khan? Setiap mingu dalam 2 kali sebulan ngantri dikawali
satpam, dan komandan devisi kaplingan.
Penuh sumringah cerita ulangan,
hari demi hari selanjutya masih tetap bergelayut di luasan kaplingan atau
pilihan lain diantara pepohonan sisa perkebunan, atau diantara bising suara
somil, atau diatas dumtrack pengangkut tanah dan kayu atau mencoba melakukan
hal lain.
Mereka para gerombola Gila
mengambil semua pilihan dan paling tidak pernah berpengalaman melakukanya
bergiliran. Pengalaman menjadi bagaian evolusi pilihan kerja, kini setelah
jalan dibuka sawit sebagai bayaran menyerahkan warisan tanah parene’an (satu
silsilah keturunan) kampung. Mulai mengenal kembali siapa pribad dirinya.
Berkat kegilaanya dan terlanjur
sudah terbuka terhadap dunia luar setelah 59 tahun kemerdekaan Republik
Indonesia.
Maka mereka para Orang Gila
mengankat sejarah penyempurnaan nasib kampung. Setelah banyak program pemerintah hingga
program swadaya asyarakat. Pada saat itu adalah program yang dinamakan
pengentasan kemiskinan warga Indonesia yang termarginalkan atau seolah tidak
dianggap sebagai penikmat hak berwarganegara.
Singkatnya apa yang melihat
anak-anak itu gila dilihat oleh banyak pengintip kehidupan. Mungkin ini berkat
masih ada orang Indonesia yang peduli dengan sesamanya tanpa pertimbangan peruntukan
anggaran APBN atau APBD lah. Tapi menurut mereka sangat jelas Tuhan/Jubata
tidak buta mata danmiskin hatinya menjamah lewat perantara lain sebagai
penyambung sementara nasib kampong.
Program itu tentang peningkatan
kapasitas orang kampong bagaimana bisa bertahan hidup dalam dan sekitar hutan.
Niat ini menarik pusaran pikiran orang kampong bagaimana mereka bertransformasi
dari pola hidup tradisional mulai melakukan penyesuaian gaya kerja dan gaya
hidup bagaimana dengan cerdas memanfaatkan sumber daya sekitar dengan kemasan
sederhana mudah diaplikasikan sehingga bisa dijadikan pilihan sumber
penghasilan.
Tujuanya adalah bagaimana
masyarakat kampong di dalam da di sekitar hutan tetap memanfaatkan jasa
lingkungan tanpa merusak atau menyeragamkan seluas dan sejauh mata memandang.
Mungkin system pemanfaatan ini yang konstitusi RI maksudkan “PENGeLOLAAN POLA RUANG PEMBANGUNAN SECARA
BERKelANJUTAN”.
Dengan cara Gila kami bisa bertahan hidup, karena gila adalah jurus
untuk kemajuan bersama kami dalam Gila kami menghimpun ketegaran proses,
bercengkrama dengan setiap judulkarya anak muda. Kami berterimakasih kepada
orang yeng membuat kami mengerti harus GILA, karena Gila hanya istilah,
defenisi perjuangan berversi terjemahan kemiskinan yang dirumuskan dalam
singkatan; GALI INFORMASI LAKUKAN AKSI
Dalam proses pemanfaatan para ibu
dan anak-anak gila menggunakan alat dan teknis sederhana, klaupun ada niat
menggunakan peralatan canggih dan jitu paling bisa berharap bantuan dari dinas
terkait yang selalu antri itupun syukur menyembah pohon jika terjadi dan disisi
lain tentunya tampak jelas merewka tak punya modal yang cukup (Uang, keahlian,
dan pasar yang baik).
Situasi ini telah, sedang dank an
menempa daya tahan keluarga melewati proses demi proses cerita mengindonesi
hingga usia senjanya.
Tidak ada kata menggerutu selain
setia pada pancasila da UUDN 1945.
Selalu, sepanjang abad amin.
Vilaria indah/B/G/11, 29/3/2014
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus