Social Icons

Pages

Sabtu, 29 Maret 2014

Cerita Gila Mengartikan Senja.

Umur Kampung dengan Geleri Gelirya

Pangkalant  Palmdalale Jahanang Loncek
Loncek adalah kata yang sangat mudah diucapkan tapi jarang digemakan. Kini adalah musim bunga durian mekar, bisa dihitung 6 bulan kemudian akan panen durian Parene’k-an.  Dirumah Pak Eti’ atau sebut saja Bapaknya Edi kawan sakarayungan (sahabat karib), masa ini pula sedang tak berduit, tapi hobby jalan kekampung-kampung.
Apalagi anehnya kita tak punya pekerjaan. Makanya saya sering mensugesti otak dan pola pikir dengan kata “GILA” yang dalam komunitas KTM PPB (kelompok tani muda palambon pucuk baguas) diadaptasikan dengan defenisi apa yang selalu akrab dengan ide-ide nakal, menghentakan pikiran siapapun yang mendengarnya.
Uniknya lagi ide-ide itu sederhana, biasa dibicarakan kalangan tua atau setidaknya orang-orang kampong yang sudah berumur atau sedang menikah, juga pembicaraan itu diulang-ulang setiap malam nonton sinetron, setiap pagi diteras-teras pelataran, dibawah pohon cempedak; tempat paforit bagian Bansal melafalkan angka mulai dari jumlah 1, 2, 3, dan 4 sekiranya disela mesin genset (generator set-up atau Diesel jenis TS, Dompeng 13 dan kulita/pelita) bersahutan dari ujung kumangk’ ai’ , Bansal, Kalampe, Paser, Lola hingga katiak Sambas, Jahanang serta Sawit palmdale seirama dengan Bensol dan piringan somile menghadirkan rupiah demi rupiah.


Namun ketika tengah malam, irama itu satu-persatu hilang dari redupnya pandangan, hanya sekali-sekala cahaya itu meramaikan kampong berpenduduk 256 KK, dalam 1 dusun, desa perbatasan trans-kota Pontianak berjarak 75 KM kearah timur.
Anak-anak “gila” hidup pagi dan bangun dalam pekatnya malam. Siklus itu menanti hingga siapapun yang hidup  menetap. Palingan biasa ngoceh atau kalau sudah bosan beli solar atau cukup dengan minyak tanah saja untuk melempiaskan hidup dalam remang-remang utuhnya Nubuat Tuhan yang menciptakan siang-dan- malam bahwa baik adanya dalam kitab kejadian nasrani.
Mereka senag menikmati ritme hidup begini. Bertani tapi perlu memagari seluas bukaan lahanya, jelas sudah jika tidak kosekuwensinya Babi panen duluan, bahkan panen dini. Tapi bukan gagal paen hanya ada kekeliruan teknis disversifikasi varietas dan musim tanam saja. Karna bias saja mereka yang “GILA” mengambil wilayah si-Babi yang notabene peliharaan seketurunan atau Si-Babi yang tak punya malu merebut hasil panen Tuanya.
Entah bagaimana ini bias berlangsung hingga kini, tapi yang jelas mereka adalah orang Gila!
Karena Gila mereka bias menikmati keadaan ini.
Mengapa…?
Mungkin kita perlu melihat secara historis dan secara antropologis; segala mahkluk bias harmonis bermukim di Loncek beregenerasi, semenjak kisah para Pantak’ merintis situs nasib siapapun manusia yang pernah dan kemana menjejakan bekas telapak kakinya di-7 gunung dan ribuan Hektar lembah gambut yang kini penguasaan kelola buan milik orang-orang GILA lagi, karena Orang-orang Gila sudah generasi kesekian hidup berikutnya. Hingga kini mereka juga bingung identitas aslinya apakah sempat mendiami rumah panjang (rumah bantang) atau malah mendengar sayup-sayup dongen kehebatan nenekmoyangnya menggoreskan sebongkah tempat 13, 64 dan bagian kaplingan plasma dan inti di jahanang secara acak sehingga mengacak asal dan usul darimana para Orang Gila ini berasal.
Kemudian, seisi kaplingan dan sisanya sudah dinikmati setiap tahun demi tahun berikutnya. Entah sampai kapan bias sebebas itu?
Bebas bermitra dengan perusahaan perkebunan sawit skala luas yang memerlukan kerani/karyawan. Buruh lepas yang sangat takut HK/hari kerjanya dipotong gara-gara tidak bias masuk subuh dan target kerja pemupukan, penyiraman, pembersihan piringan setiap batangnya sama hal merawat bayi. Ini kata-kata dari We’ Lia atau biasa dipanggil Dak Solas seorang tokoh perempuan sedang bergelut mengetuai WK/wanita Katolik sekaligus ketua organisasi ibu-ibu petani (KTBA/ kelompok tani burung arue) yang hingga saat ini sangat jeli, cermat dan energik menyuarakan nasib sekawanan buruh harian lepas dengan alas an kata “Bapak mau kualitas kah atau cepat selesai targetnya?”
Seolah menguatkan posisi orang kampong (para orang tua mereka yang Gila) bahwa teryata mereka juga tak pernah ditatar bagaimana cara mengerjakan apa yang diminta perusahaan lewat perintah mandor dan IC nya.
Persis menghantui ingatan subuh mereka, bahwa besok kita harus menyelesaikan borongan target kerja jalur, demi jalur supaya setiap minggunya bisa dapatkan rupiah supaya dapur berasap, lusa para anaknya bisa baca dan tulis di sekolah nya Soekarno hingga kelak tidak harus menebang cerucuk, lokbut, memutar bunga, udang, kepiting, tempayan dan memilah hurf cina atau selalu bersenang-senang di panggung jonggan sembari joget oplosan, iwa peyek, jika bosan berteduh dibawah tenda lapak biru disana tersedia variasi kampelan, kacang kulit, IDT (indomi dan telur) serta segenap jenos penyedap rasa produk luar kampong menyemangati bulan-bulang pesta pengantin dan pesta sunatan.
Hitungan itu adalah, GAJI. Kedengaranya keren khan? Setiap mingu dalam 2 kali sebulan ngantri dikawali satpam, dan komandan devisi kaplingan.
Penuh sumringah cerita ulangan, hari demi hari selanjutya masih tetap bergelayut di luasan kaplingan atau pilihan lain diantara pepohonan sisa perkebunan, atau diantara bising suara somil, atau diatas dumtrack pengangkut tanah dan kayu atau mencoba melakukan hal lain.
Mereka para gerombola Gila mengambil semua pilihan dan paling tidak pernah berpengalaman melakukanya bergiliran. Pengalaman menjadi bagaian evolusi pilihan kerja, kini setelah jalan dibuka sawit sebagai bayaran menyerahkan warisan tanah parene’an (satu silsilah keturunan) kampung. Mulai mengenal kembali siapa pribad dirinya.
Berkat kegilaanya dan terlanjur sudah terbuka terhadap dunia luar setelah 59 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Maka mereka para Orang Gila mengankat sejarah penyempurnaan nasib kampung.  Setelah banyak program pemerintah hingga program swadaya asyarakat. Pada saat itu adalah program yang dinamakan pengentasan kemiskinan warga Indonesia yang termarginalkan atau seolah tidak dianggap sebagai penikmat hak berwarganegara.
Singkatnya apa yang melihat anak-anak itu gila dilihat oleh banyak pengintip kehidupan. Mungkin ini berkat masih ada orang Indonesia yang peduli dengan sesamanya tanpa pertimbangan peruntukan anggaran APBN atau APBD lah. Tapi menurut mereka sangat jelas Tuhan/Jubata tidak buta mata danmiskin hatinya menjamah lewat perantara lain sebagai penyambung sementara nasib kampong.
Program itu tentang peningkatan kapasitas orang kampong bagaimana bisa bertahan hidup dalam dan sekitar hutan. Niat ini menarik pusaran pikiran orang kampong bagaimana mereka bertransformasi dari pola hidup tradisional mulai melakukan penyesuaian gaya kerja dan gaya hidup bagaimana dengan cerdas memanfaatkan sumber daya sekitar dengan kemasan sederhana mudah diaplikasikan sehingga bisa dijadikan pilihan sumber penghasilan.
Tujuanya adalah bagaimana masyarakat kampong di dalam da di sekitar hutan tetap memanfaatkan jasa lingkungan tanpa merusak atau menyeragamkan seluas dan sejauh mata memandang. Mungkin system pemanfaatan ini yang konstitusi RI maksudkan “PENGeLOLAAN POLA RUANG PEMBANGUNAN SECARA BERKelANJUTAN”.
Dengan cara Gila kami bisa bertahan hidup, karena gila adalah jurus untuk kemajuan bersama kami dalam Gila kami menghimpun ketegaran proses, bercengkrama dengan setiap judulkarya anak muda. Kami berterimakasih kepada orang yeng membuat kami mengerti harus GILA, karena Gila hanya istilah, defenisi perjuangan berversi terjemahan kemiskinan yang dirumuskan dalam singkatan; GALI INFORMASI LAKUKAN AKSI
Dalam proses pemanfaatan para ibu dan anak-anak gila menggunakan alat dan teknis sederhana, klaupun ada niat menggunakan peralatan canggih dan jitu paling bisa berharap bantuan dari dinas terkait yang selalu antri itupun syukur menyembah pohon jika terjadi dan disisi lain tentunya tampak jelas merewka tak punya modal yang cukup (Uang, keahlian, dan pasar yang baik).
Situasi ini telah, sedang dank an menempa daya tahan keluarga melewati proses demi proses cerita mengindonesi hingga usia senjanya.
Tidak ada kata menggerutu selain setia pada pancasila da UUDN 1945.
Selalu, sepanjang abad amin.


Vilaria indah/B/G/11, 29/3/2014 

1 komentar: