Hidup dalam komunitas.
Dahulu diabad 19 terakhir, diperkampungan pinggiran kota atau bahkan dipedalaman. sekalipun masih menggunakan surat sebagai alat penyampai pesan, dalam keluargaku sering tatap muka. moment itu biasanya pada waktu tertentu, bisa saja kala musim durian atau buah tahunana lainya. Seperti Mentawa, Sibau, Kemayau, Langsat, atau musim lain seperti Gawai kampung, peseta keluarga dan peristiwa pengobatan jika ada diantara anggita keluarga mengalami sakit.
Hidup dipinggiran dan pedalaman telah banyak memberi ruang budaya, kegiatan sehari-hari dilakuka disekitar dan didalam hutan, alamlah yang mendidik kami dari usia belia. kehidupan itu seolah menjadi siklus hidup setiap generasi. menyenangkan, asyik karena banyak pembelajaran yang terjadi secara alamiah.
Masa-masa belia ditempa segala macam mitos kampung, pituah kampung, pepatah kampung, tanda-tanda alam lewat bintang, bulan, binatang, dan yag paling berkesan adalah makna bebunyian burung. Ada kala burung dijadikan pertanda baik-buruk nasib kita dalam perjalanan, atau ada kalanya lagi sebagai pertanda kejadian dan fenomena dimasa depan, gambaran hidup seseorang dan keseimbangan sosial kampung, seperti ajaran warisan pengetahuan alam tiongkok kuno. kemuian dituliskan dalam banyak rupa motif anyaman, tenun Ikat, sulam dan bentuk prasasti serta kisah kebajikan seketurunan hingga kini jejak itu bisa ditelusuri dari tutur mulut siapapun mereka bisa merangkainya dala siklus kata.
Keadaan ini masih hidup dalam keseharian warga, dipercaya turun-temurun. bahkan setiap generasi diwajibkan mematuhuinya. Generasi berikutnyapun selalu berusaha menjalankan titah leluhur.
Warisan pengetahuan alam kampung ini turut membentuk manusia kampung setiap waktu, perkembangan dinamis sosial commune begitu dekat bahakan akrb, kental bisa betah dan lekang mencinta keselamatan hidup manusia. Hasil dari kepercayaan ini telah melahirkan hal tindak-laku moral warga kampung beradab atas sesama, kepada alam dan kepata Petara yang adalah Empu-Nya hidup.
Hidup bergantung pada kemurahan alam, jika alam berubah seketika itu pula kehidupan warga kampung berubah pola. "inilah yang orang kenal sebagai budaya peradaban".
Kemurahan alam bisa terjaga kalau saja ajaran pituah, mitos dan banyak rupa kebajikan masih dijalankan, namun untuk menjalankanya kembali perlu infrastruktur penyambung kata yang biasanya orang ingat adalah adat-istiadat . semua fenomena hanya bertahan setiap waktu tertentu, tidak heran kebiasaan bisa berubah menyesuaikan kebutuhan kaumnya.
Budaya dan adat-istiadat.
Begitu kental dan identik, serasa hanya milik warga kampung, takan mungkin masyarakat perkotaan apalagi megapolitan menjalankanya. Jikalaupun dipandang perlu; tidak pernah utuh. segelintir akan menjandi konsumsi teori dan akademisi kedalam transformasi nilai spiritual penyembahan berhala keyakinan dan kepercayaan, atheis dan aninisme sebelum termktub dalam lafal alkitabiah.
Menarik kemudian untuk dicermati, bahwa kehidupan nyatanya berangkat dari pedalaman, perkampunga, pinggiran, urban, perkotaan barulah kemudian modernism gaya hidup yang juga ciptaan manusia. Hakikinya juga sama manusia.
Alam berperan 70% dari masa hidup kami sampai usia remaja
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus